KLIK PRIANGAN – Ingat Cibiuk tentu ingat sambal Cibiuk. Ingat sambal Cibiuk tentu ingat penciptanya, yakni Eyang Siti Fatimah, putri dari Eyang Wali Cibiuk yang bernama Eyang Jafar Sidik.
Nah, ternyata coet yang biasa digunakan Eyang Fatimah untuk membuat sambal Cibiuk, hingga kini masih ada dan dirawat oleh salah seorang ahli waris Eyang Fatimah, yakni Ajengan Agus Rahmat (45), pemimpin Pesantren An-Najah, di Kampung Babakan Serang, Desa Cibiuk Kaler, Kecamatan Cibiuk, Kabupaten Garut.
Coet yang terbuat dari batu tersebut berdiameter sekitar 25 cm dan berat sekitar 7 kg. Selain coet, Ajengan Agus juga menyimpan dua buah jubleg yang selalu digunakan Eyang Fatimah menumbuk padi untuk makan keluarga.
Yang satu berukuran kecil berdiameter sekitar 20 cm, yang satunya lagi berukuran sedang, berdiameter sekitar 30 cm. Sayang, kedua jubleg peninggalan Eyang Fatimah kurang dirawat. Keduanya tergeletak begitu saja di halaman rumah.
Sementara coet, disimpan Ajengan Agus dan istrinya Yoyom (40) di dalam rumah dan disembunyikan di bawah meja dengan ditutupi perabotan dapur.
Padahal seperti juga coet, kedua jubleg itu merupakan benda bersejarah yang umurnya sudah lebih dari 400 tahun – menurut keterangan, Eyang Jafar Sidiq dan Eyang Fatimah hidup sekitar tahun 1600-an Masehi.
Ajengan Agus merupakan generasi ke sepuluh Eyang Fatimah. Begitu pula istrinya, Yoyom, juga generasi kesepuluh Eyang Fatimah.
“Jadi kalau dilihat dari rundayan keturunan, saya dan istri saya ini masih saudara, cuma sudah jauh,” jelas Ajengan Agus, saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.
Ajengan Agus sempat membawa sebuah buku bertuliskan huruf Arab yang menerangkan keturunan Eyang Jafar Sidik dan Eyang Fatima. Dari silsilah yang ditulis dalam buku itu, Ajengan Agus dan istrinya memang masih merupakan keturunan Eyang Jafar Sidik dan Eyang Fatimah.
“Jadi dari silsilah yang ditulis dalam buku itu, saya dan istri saya termasuk generasi kesepuluh dari Eyang Fatimah,” ungkap Ajengan Agus.
Dari buku itu pula diketahui bahawa pesantren-pesantren dan ulama-ulama besar yang ada di Garut, masih satu keturunan. Di antaranya Pesantren Nuryayi di Karangpawitan, yang didirikan ulama besar Nuryayi, kemudian pesantren Sumur di Sukawening, Pesantren Keresek di Cibatu dan sebagainya.
Ajengan Agus mengaku, meski sudah tahu pecah, beberapa orang sempat datang ke rumahnya dengan niat akan membeli coet peninggalan Eyang Fatimah tersebut.
Mereka kemungkinan kolektor barang bernilai sejarah.Namun, kata lelaki berpenampilan sederhana itu, ia tak akan menjualnya meski harga yang ditawarkan sangat menggiurkan.
“Bahkan pernah seorang habib (keturunan Arab-Red) datang dan menawarkan uang lebih dari Rp 50 juta asal coet Eyang Fatimah diberikan. Tapi saya dan istri saya tetap menolak,” ujarnya.
Agus menambahkan, coet Eyang Fatimah sebenarnya sudah pecah terbagi dua. Itu terjadi ketika coet masih disimpan di neneknya, Eyang Siti Khodijah, istri dari ulama besar Cibiuk yakni Eyang Muhammad Sobar. Pecahnya coet terjadi beberapa hari sebelum Eyang Siti Khodijah wafat.
“Mungkin pecahnya coet ini merupakan pertanda bahwa Eyang akan meninggal,” katanya.
Agar coet tetap utuh, Ajengan Agus kemudian merekatnya. Kini, selain tak kelihatan retak, coet itu bahkan tetap bisa digunakan.
Menurut Ajengan Agus, Ny. Mekarwati saat masih menjadi Camat Cibiuk (sekarang menjadi Camat Cibatu) pernah beberapa kali datang ke rumahnya untuk sekedar melihat coet sambil menikmati sambal cibiuk yang dibuat langsung dengan coet peninggalan Eyang Fatimah.
Setiap kali bertemu, kata Ajengan Agus, Mekarwati selalu mengingatkan agar Ajengan Agus merawat coet itu baik-baik.
“Benda ini sangat bersejarah, baik bagi Cibiuk maupun Garut. Oleh karena itu Ajengan harus merawatnya baik-baik,” kata Mekarwati seperti ditirukan Ajengan Agus.
Menurut Ajengan Agus, apa yang diungkapkan oleh Camat Mekarwati pernah pula diungkapkan neneknya, Eyang Siti Khodijah bahwa siapa pun yang ditipi coet Eyang Fatimah, harus siap menjaga dan merawatnya sepenuh hati.
Bahkan menurut cerita, kata Ajengan Agus, ketika terjadi peristiwa genting di tahun 60-an (DI/TII dan PKI) Eyang Siti Khodijah sempat menyembunyikan coet Eyang Fatimah di dasar kolam di bawah lumpur dengan cukup dalam. Maksudnya agar tak diketahui orang tentu.
“Rupanya Eyang khawatir coet ada yang mengambil sehingga menyembunyikannya di tempat yang tak akan diketahui orang,” ungkap Ajengan Agus.
Sementara Yoyom, istri Ajengan Agus menambahkan, coet itu sesekali masih suka digunakan terutama jika ada tamu datang.
“Untuk menghormati tamu, saya sesekali suka menggunakan coet ini untuk membuat sambal Cibiuk. Alhamdulillah, setiap tamu yang datang mengatakan rasa sambel yang dibuat di coet tersebut jauh lebih enak daripada yang dibuat di rumah makan mana pun yang memakai embel-embel Sambal Cibiuk,” katanya.
Namun, lanjut Yoyom, karena khawatir pecah kembali, coet tersebut lebih sering tersimpan di tempatnya.
“Kalau keseringan digunakan saya khawatit coet pecah kembali sehingga rusak,” paparnya.
Yoyom mengaku, ia dan suaminya dipercaya oleh seluruh ahli waris Eyang Fatimah untuk menyimpan dan merawat coet Eyang Fatimah karena memiliki khawarij.
Artinya, ia memiliki kelebihan yakni bisa membuat sambal Cibiuk lebih enak dari ahli waris Eyang Fatimah yang lainnya.
Apa yang diungkapkan Yoyom dibenarkan oleh Ajengan Agus.
“Mudah-mudahan apa saya katakan tidak termasuk riya dan sombong, tapi memang begitulah kenyataannya. Tak semua ahli waris Eyang Fatimah bisa membuat sambal Cibiuk yang sangat enak, kelebihan itu ternyata dimiliki oleh istri saya, alhamdulillah. Melihat kelebihan istri saya tersebut, maka ahli waris Eyang Fatimah mempercayakan coet ini kepada saya dan istri saya untuk menjaga dan merawatnya,” papar Ajengan Agus.***