KLIK PRIANGAN – Himpunan Mahasiswa PGSD Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tasikmalaya menggelar Workshop Pendidikan Inklusi dalam Setting Kelas di Sekolah Dasar pada Selasa 7 Mei 2024 di SD Angkasa.
Menurut Ketua HIMA Magister PGSD UPI Tasikmalaya, Ois Mukhlisin, SPd, kegiatan itu digelar sebagai upaya mendorong wacana penerapan dan realisasi inklusi di beberapa jenjang di Kota Tasikmalaya.
“Pendidikan khusus merupakan salah satu bentuk pendidikan yang diperuntukkan bagi peserta didik dengan tingkat kesulitan dalam pembelajaran karena berbagai faktor, seperti perbedaan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa,” kata Ois Mukhlisin.
Di Kota Tasikmalaya, peserta didik yang dimaksud adalah penyandang disabilitas.
Menurut Dr. Sima Mulyadi dan Aris Rahman, MPd, praktisi pendidikan dan relawan dari Paguyuban Pegiat Disabilitas Tasikmalaya (Papeditas), upaya ini sejalan dengan amanat undang-undang yang menegaskan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu.
Pesan Presiden RI Joko Widodo pada Hari Disabilitas Internasional 2021 juga menekankan pentingnya komitmen dan layanan terhadap disabilitas sebagai ukuran kemajuan peradaban suatu bangsa.
“Penyandang disabilitas juga memiliki kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan, baik sebagai penyelenggara, pendidik, tenaga kependidikan, maupun peserta didik,” kata Aris menambahkan
Hal ini sebagaimana diatur dalam UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan PP nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
Data statistik dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menunjukkan bahwa jumlah anak usia 5-19 tahun penyandang disabilitas mencapai 3,3 persen dari total penduduk usia tersebut pada 2021, atau sekitar 2.197.833 jiwa.
Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 12,26 persen dari mereka yang menempuh pendidikan formal. Meski demikian, layanan pendidikan inklusif masih dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti penolakan dari sebagian orang tua/masyarakat dan pelecehan terhadap penyandang disabilitas.
Selain itu, juga keterbatasan Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berkompeten, rendahnya kemampuan dalam adaptasi kurikulum dan pembelajaran, serta keterbatasan aksesibilitas media pembelajaran.
Aris menyoroti perlunya komitmen pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam membudayakan pendidikan inklusif melalui berbagai langkah. Seperti memperkuat identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan khusus (ABK), penyediaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dukungan dalam penerbitan regulasi untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif di tingkat daerah. (Irman S)*