Sekelompok pelaku seni Gegel Jubleg dari Kecamatan Cisewu selatan Garut sedang memperagakan kesenian Gegel Jubleg dalam acara helaran gebyar budaya Garut, Selasa (23/2/2016). Kesenian gegel jubleg ini selalu ditampilkan di saat Hari Jadi Garut atau Kemerdekaan RI.*
KLIK PRIANGAN – Dari puluhan kesenian yang ada di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Gegel Jubleg merupakan salah satu kesenian yang selalu banyak menyita perhatian penonton.
Gegel Jubleg (menggigit alat penumbuk padi terbuat dari kayu atau batu) itu merupakan kesenian yang menggabungkan keahlian teknis, dan penguasaan magis untuk menjadikan Jubleg (alat penumbuk padi) sebagai topeng, dan topi dalam waktu yang cukup lama dengan cara digigit.
Kesenian asli Kabupaten Garut yang berasal dari wilayah Pakidulan atau dari Kecamatan Cisewu itu, kini dilestarikan oleh kelompok seni “Giri Mekar Sewu”. Asal mula lahirnya kesenian Gegel Jubleg tidak terlepas dari pengalaman hidup pendirinya, yakni Bah Ukri.
Penggerak seni tradisi karuhun Kecamatan Cisewu, Gun Gun Nugraha menjelaskan, Seni Gegel Jubleg diciptakan oleh salah seorang seniman perintis Kelompok Seni Giri Mekar Sewu bernama Ukri (Alm).
Dia lahir sebelum tahun kemerdekaan RI. “Di tengah suasana perang beliau menyempatkan diri untuk menggali potensi kesenian pemuda waktu itu. Dan membentuk sebuah kelompok seni tradisi Sunda ‘Panca Warna’, sebuah garapan yang multi kesenian, di antaranya Rengkong, Reog, Angklung, Calung, Debus dan Kuda Lumping,” kata Gun Gun Nugraha, saat ditemui wartawan beberapa waktu lalu.
Menurut Gun Gun, seni Gegel Jubleg yang menjadi seni unggulan Kecamatan Cisewu itu lahir secara tidak sengaja. Seni tersebut terinspirasi dari sebuah peristiwa yang disaksikan oleh Ukri.
“Menurut cerita beliau semasa hidupnya, suatu hari Ukri pergi ke hutan berniat mengambil kayu bakar miliknya yang ditaruh beberapa hari sebelumnya. Sesampainya di hutan, ia dikejutkan oleh seekor babi hutan besar yang menggigit sebatang kayu sembari digoyang-goyangkan, seraya melintasi jalan setapak dan masuk ke semak belukar,” ucapnya seraya mempraktikan kejadian pada masa itu.
Kejadian tersebut, lanjut Gun Gun, menginspirasi Ukri untuk menciptakan sebuah jenis seni tradisi baru. Sebuah bentuk seni tradisi atraktif dan fenomenal. Dalam pengembangannya Ukri mencoba menggunakan Jubleg dengan cara digigit, sebagai alat untuk atraksi.
“Tentu saja dengan teknik tertentu dan perlu keahlian khusus dalam memainkannya. Sebab tidak gampang untuk mengangkat beban jubleg ini hingga seberat 25 kilogram. Apalagi digoyang-goyang sambil berjalan-jalan,” katanya, seraya menunjukan sebuah jubleg di tangannya.
Karena sudah dianggap berhasil dalam pembuatan karyanya, atraksi ini mulai ditampilkan dalam berbagai pementasan. Baik itu acara hajatan atau pun hari besar kemerdekaan. Dengan tradisi seperi itu dan melihat respon baik dari penonton, tercetuslah sebuah nama seni “Gegel Jubleg” hingga saat ini.
Pementasan seni Gegel Jubleg itu, tentu saja tidak lepas dari pamirig atau pengiring musiknya. Dibubuhi juga oleh seni Reog, Angklung, bahkan Kendang Pencak. Tak jarang juga dicampuri atraksi gesrek atau debus untuk lebih menghidupkan suasana pertunjukan.
“Namun sangat disayangkan, seni Gegel Jubleg hanya bisa berlaga dan berjaya hingga akhir tahun 90-an. Setelah itu lenyap diikuti oleh seni-seni tradisi Sunda lainnya. Dampak dari beberapa faktor, salah satunya adalah perubahan politik di Indonesia dari orde baru ke orde reformasi,” tuturnya.
Gun Gun menegaskan, seni Gegel Jubleg ini dilestarikan kembali pada tahun 2011 atas kerja keras semua unsur masyarakat. “Lenyapnya seni Gegel Jubleg tak berlangsung lama. Atas kerja sama dari berbagai tokoh masyarakat, akhirnya berhasil membangkitkan kembali kesenian Gegel Jubleg dengan mengikut sertakan dalam kegiatan gelar budaya yang digelar di Kecamatan Cisewu pada waktu itu,” ungkapnya.
Sekarang kesenian Gegel Jubleg mulai dikenal masyarakat luas termasuk masyarakat Kabupaten Garut yang berada diperkotaan. Bahkan, cerita lain menyebutkan, bahwa gegel jubleg ini lahir di saat penjajahan, dimana masyarakat Kecamatan Cisewu dalam kegiatan “nyingsieunan” penjajah dengan cara menggigit jubleg (gegel jubleg), agar penjajah merasa takut.
“Jubleg wae anu sakitu beratna jeung kerasna digegel, komo jelema anu hipu. Penjajah teh jadi sieun,” katanya. (P-10)***