Opini  

Optimalisasi Peran Ibu untuk Peradaban

Herlina Husen, S.Si., M.Pd.I.

Oleh: Herlina Husen M.Pd.I
(Dosen dan Konsultan Muslim)

PEMBANGUNAN Indonesia yang merupakan bagian dari megaproyek global di era revolusi industry 4.0 nyatanya tidak pernah benar-benar menjadi solusi. Karena saat pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pengangguran ditarget dalam wujud angka-angka, namun di sisi lain menihilkan pembangunan manusia dengan paradigma yang benar. Itu semua hanya akan menjadi proyek ambisus yang jauh panggang dari api.

Bahkan pembangunan fisik dengan paradigma kapitalistik, yakni eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM), sungguh telah menimbulkan dampak mengerikan pada aspek lingkungan, ekologis, sosiologis maupun psikologis.

Pemuda di era ini, didorong untuk menjadi sekrup-sekrup kapitalisme. Mereka diarahkan untuk menolong dirinya sendiri di tengah arus krisis ekonomi dan perubahan iklim. Di sisi lain mereka pun bertindak sebagai konsumen hasil-hasil produksi kapitalisme global, termasuk di dalamnya industri gaya hidup, games, hiburan, fashion, pornografi, narkoba, LGBT, dsb. Dengan demikian orientasi hidup kita dan generasi di bawah kita telah benar-benar diarahkan untuk memproduksi dan mengonsumsi secara membabi buta.

Hidup di era modern tidak lantas menjadikan kita manusia mulia. Bahkan kehidupan saat ini bisa dikatakan berada di ‘lower level’. Dimana kemuliaan seseorang diukur dari barang mewah dan kemampuan mengonsumsi yang memiliki efek candu. Hidup karena materi dan untuk materi. Bukankah itu adalah kehidupan rendah yang menghambat manusia membangun dirinya dengan potensi tertinggi yaitu akal?!

Sebagai contoh adalah kasus stunting yang diderita anak dari salah satu karyawan wanita di Kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) beberapa waktu lalu. Dengan penghasilannya, seharusnya ibu tersebut bisa ‘spending money’ untuk memprioritaskan kebutuhan pokok, dibandingkan gaya hidup. Namun ironis, inilah fenomena yang terjadi dan membutuhkan pemikiran kritis semua pihak. Bahwa saat pendidikan generasi dihadapkan pada banyaknya tantangan zaman di era kapitalis-sekuler ini, peran ibu justru terlemahkan dengan bujukan mantra-mantra konsumerisme, kebebasan finansial, ide kesetaraan gender, dll.

Tugas perempuan sebagai istri dan ibu sesungguhnya tidaklah ringan. Dibutuhkan karakter tangguh dan resiliensi yang kuat dalam memikul beban dan menghadapi segala tantangan. Ibu butuh menginvestasikan waktu, energi, dan pikiran. Ia juga harus berupaya sepenuh hati disertai kedekatan dengan Allah Ta’ala, karena proses mendidik ibarat mentransfer jiwa. Ibu juga membutuhkan “support system” yang menunjang pelaksanaan perannya secara optimal. Bukan justru dihadapkan pada beban dan masalah lain yang tak kalah berat. Sebut saja Kekerasan dalam Rumah Tangga, perselingkuhan, kemiskinan, beban ibu pekerja, kekerasan seksual. Sehingga rentetan beban tersebut memenderitakan fisik sekaligus mentalnya.
Betapa banyak kita dapati fakta para ibu yang terjerat pinjaman online, terpaksa berhutang kesana-kemari demi agar dapur tetap ngebul. Berapa banyak pula para ibu yang depresi karena kesulitan ekonomi, lalu memutuskan mengakhiri hidupnya dan anak-anaknya. Juga potret ibu-ibu pejuang rupiah, yang harus berjuang, hanya untuk mendapatkan hak mereka secara layak, sampai melupakan kewajiban kodratinya.

Dengan demikian peran perempuan sebagai ibu peradaban tidak akan terealisasi, terkecuali dengan sinergi semua elemen, yakni keluarga, sekolah, masyarakat dan Negara. Dimana masing-masing elemen tersebut memiliki peran strategis yang saling mendukung satu sama lain.

Di ranah keluarga, ayah adalah “Al Qawam” yang bertanggung jawab penuh dalam membina, melindungi dan mencukupi kebutuhan nafkah keluarga. Dibutuhkan karakter penyayang seorang suami, yang mampu memberi rasa nyaman dan aman pada sang istri. Karena istri yang bahagia akan bisa menjadi ibu yang bahagia dalam mendidik dan mengasuh putra-putriya. Demikian halnya istri, ia harus berusaha meningkatkan kualitas dirinya. Ia perlu belajar, memperkaya literasinya terhadap ilmu agama, ilmu parenting dan ilmu lain yang menunjang optimalnya pelaksanaan peran istri dan ibu.

Seorang ibu juga perlu senantiasa meningkatkan kemampuan berpikir solutif bagi setiap problem keluarganya; melakukan sebab-sebab yang bisa menjaga kesehatan mentalnya seperti tazkiyatu an nafs, menghadiri majelis ilmu, dan berteman dengan circle yang positif. Dengan itu semua, ibu akan terjaga untuk benar dalam berpikir, merasa, berkata dan bertindak.
Di masyarakat perlu ditumbuhkan iklim kepedulian, saling membantu, termasuk budaya amar ma’ruf nahyi munkar untuk terciptanya masyarakat yang baik dan bertaqwa kepada Allah. Karena msyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun dengan gagasan dan ilmu, bukan masyarakat yang poros hidup serta ukuran kemuliaannya adalah materi.
Lembaga persekolahan harus memastikan bahwa aktifitas belajar-mengajar bukan sekedar transfer pengetahuan. Tetapi mendidik karakter siswa agar menjadi insan beriman dan bertakwa serta memiliki skill yang mumpuni untuk memajukan peradaban. Hal ini dilakukan dengan ‘multi approach’, yakni melalui pembinaan, pembimbingan, pembiasaan, pelatihan, pemantapan dan pengarahan.

Terakhir, negara yang merupakan pilar utama penegak tata nilai, berkewajiban menghadirkan regulasi, tata kelola dan aturan yang bisa merealisasikan terwujudnya hak-hak warga negara secara utuh. Dalam aspek ekonomi, negara bukan hanya perlu mendorong produksi barang dan jasa sebanyak-banyaknya, namun memastikan proses distribusi secara merata agar kebutuhan pokok dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, bukan hanya orang-orang kaya.

Negara yang memahami pentingnya peran ibu, juga tidak akan mengeksploitasi wanita untuk menjadi tenaga kerja kasar dan murah, memeras tenaga, pikiran dan waktu mereka hanya untuk kesejahteraan kaum pemilik modal. Namun menghadirkan lapangan pekerjaan dengan pembinaan skill bagi para bapak sebagai pemilik tanggung jawab utama pencari nafkah.
Negara pulalah yang memiliki wewenang untuk menutup akses bagi masuknya budaya, sistem nilai dan industri yang tidak sesuai dengan Islam dan adat ketimuran. Seperti sekulerisme, liberalisme, hedonisme dan isme-isme lain yang pada gilirannya berdampak merusak kehidupan masyarakat, utamanya generasi.

Dari semua paparan ini, perempuan sejatinya menghayati betul peran sebagai ibu bagi anaknya sekaligus ibu peradaban. Berusaha mengurai satu demi satu tantangan zaman yang berpotensi mengerdilkan kualiatasnya sebagai pendidik generasi. Oleh karenanya, saat ia melihat peran ini hendaknya tidak dengan kacamata bahwa ini semata peran domestik yang tak berharga. Lebih dari itu, ini adalah peran besar dan sentral yang akan membawanya pada kemuliaan di dunia dan akhirat. Semoga.***

Exit mobile version