KLIKPRIANGAN – Kupat tahu Mangunreja ada di mana-mana. Tampaknya setiap penjual jenis makanan ini harus mencantumkan nama “Mangunreja” sebagai pendongkrak nilai jual.
Bagaimana pun, nama Mangunreja, sebuah daerah di sebelah barat Singaparna, menjadi tempat munculnya jenis kuliner yang memadukan ketupat dan tahu goreng plus bumbu kacang tanah ini. Meski, tentu saja tak semua penjual kupat tahu memakai resep yang sama dengan yang dipakai oleh pelopor kupat tahu di Mangunreja.
Di Mangunreja sendiri tercatat nama tiga serangkai penjual kupat tahu, yang memulai tren makanan ini sekitar tahun 1940-an. Meski menurut beberapa sumber lisan, kupat tahu sudah ada sejak zaman Belanda, tapi ketiga nama ini yang masih bisa ditelusuri dan terkait dengan sejarah “perkupattahuan” di Mangunreja.
Ketiganya adalah Eweng, Sapna, dan Abas. Eweng berasal dari Kampung Regol, Sapna dari Kampung Paledang, dan Abas dari Kampung Sangegeng. Ketiga kampung ini bertetangga dan kini termasuk dalam wilayah pusat keramaian Mangunreja.
Sapna dan Abas biasa berkeliling menjual kupat tahu dengan cara ditanggung, meski kerap juga mangkal di depan Masjid Agung Mangunreja. Sementara Eweng memiliki kios di pinggir lapang, di bawah rindang pohon beringin yang berada di sisi utara bangunan Markas Batalyon 303, yang kini menjadi komplek Mapolres Tasikmalaya.
Aam Amrulloh (36), pedagang kupat tahu di Mangunreja yang merupakan cucu dari Abas menceritakan, berdagang kupat tahu telah lama menjadi mata pencaharian keluarganya.
“Dulu kakek saya, Aki Abas yang berjualan, kemudian diteruskan oleh ayah saya, Bapak Ibo, dan setelah ayah saya tiada, kini diteruskan oleh saya,” ujar Aam, saat berbincang dengan Kabar Priangan, awal September 2022.
Selepas dari SMP tahun 2000, Aam mengaku tidak meneruskan sekolah. Ia berniat meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai penjual kupat tahu, di sebuah kios yang berada tepat di seberang Masjid Agung Mangunreja.
“Dulu ayah saya yang berjualan di sini, lalu diteruskan oleh saya,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini. Kakak dan adiknya memilih pekerjaan lain, dan dia sendiri yang kemudian meneruskan jejak ayah dan kakeknya berjualan kupat tahu. Ia mengabadikan nama ayahnya sebagai merk warungnya, yakni “Kupat Tahu Mang Ibo”.
Komplek kios di pinggir jalan itu dibangun oleh pihak Desa Mangunreja. “Kami membeli bangunan kios yang ditempati, sementara tanahnya milik desa. Jadi ada uang sewa tanah yang dibayar ke Desa Mangunreja,” ujarnya.
Hasil dari berjualan kupat tahu, menurut Aam, cukup untuk menghidupi keluarga. Sebelum pandemi Covid-19, ia mampu menjual sebanyak 200 kupat per hari. Satu butir ketupat cukup untuk hidangan satu piring ditambah tahu goreng. Jadi hitungannya, setiap hari rata-rata ia menjual 200 piring.
“Sekarang, setelah pandemi ya penjualan mulai lumayan. Cukup lah untuk makan keluarga dan biaya sekolah anak,” ujarnya.
Generasi lainnya dari pelopor kupat tahu Mangunreja adalah Tatang Suprihatna Sumpena (50). Ia merupakan cucu dari Aki Eweng, yang kini membuka warung kupat tahu di Pasar Awipari Cibeureum Kota Tasikmalaya.
Tatang yang juga seniman dan dikenal dengan nama Tatang Pahat ini, menamai warungnya “Kupat Tahu Khas Uganda #Sialaaan”. Saat hal itu ditanyakan padanya, Tatang hanya tertawa.
“Ini hanya jurus dagang saja,” katanya.
Ia menamai demikian, karena penamaan Kupat Tahu Mangunreja terkesan sudah umum.
“Banyak yang memakai nama Mangunreja, tapi saat dicoba, ternyata rasanya berbeda, rasanya lain. Jadi kalau ingin merasakan kupat tahu original Mangunreja, ya di sini,” katanya, berpromosi.
Resep kupat tahu sialannya itu, menurut Tatang, didapat langsung dari kakeknya, Aki Eweng.
“Bumbu kupat tahunya murni dari bahan-bahan alami, tidak memakai bumbu atau penyedap instan. Dan kupat tahu Mangunreja itu tidak memakai toge rebus atau bawang goreng. Kalau masalah ditambah kerupuk dan kecap, sambal, itu mah sesuai selera saja,” ujarnya.
Untuk bumbu kupat tahu yang dijualnya, ia mengaku membuatnya sendiri sesuai dengan yang diajarkan kakeknya dahulu.
Hal itu sama dengan yang diungkapkan Aam. Bumbu kupat tahu Mangunreja yang didapatnya secara turun-temurun itu, sangat mengandalkan keseimbangan dari bahan-bahan utama. Yakni kacang tanah, bawang daun, dan santan, serta beberapa bumbu tambahan.
Aam membocorkan rahasia pembuatan bumbu kacang yang telah menjadi pusaka kuliner khas Mangunreja tersebut. Yakni, kacang tanah disangrai, lalu ditumbuk. Demikian juga bawang daun, dipotong-potong lalu ditumbuk, ditambahi irisan cabe merah, garam dan gula merah secukupnya, serta sedikit asem dan terasi. Bahan-bahan tersebut lalu ditumis dengan santan.
“Jadi pembuatannya sangat sederhana. Kacang tanahnya sebelum ditumbuk harus disangrai dulu, jangan digoreng. Kalau digoreng nanti hilang sarinya,” ujar Aam.
Sementara untuk pemakaian santan, jika kacang tanah tiga kilogram, maka ia memakai santan dari tiga butir kelapa.
“Jadi rasa gurihnya itu dari santannya,” imbuhnya. Nunaz***