banner 728x90
Opini  

Hedonisme Dalam Perspektif Islam dan Pancasila

Dadang Yudistira
Dadang Yudistira
banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Dr. H. Dadang Yudhistira, S.H., M.Pd.

JABATAN dan kekayaan seringkali berbanding lurus dengan kemewahan, kesombongan dan penyimpangan perilaku. Bahkan pada beberapa kasus, jabatan dan kekekayaan seseorang mendorong seseorang untuk bergaya hidup mewah.

Jabatan dan kekayaan juga seringkali mendorong munculnya sikap sombong, angkuh, takabbur dan menganggap rendah orang lain. Dalam pikiran orang-orang yang sombong dengan jabatan, kekayaan dan kemewahannya seringkali memicu untuk menganggap remeh sebuah masalah dan melakukan perbuatan yang tidak terpuji.

Setidaknya, ini yang dilakukan oleh seorang anak pejabat pegawai pajak di ibukota Jakarta yang menjadi viral di medsos dan mendapat respon negatif dan hukuman sosial dari netizen.

Apa yang dipertontonkan anak pejabat pegawai pajak dengan memamerkan mobil mewah rubicorn, motor gede, dan terakhir dengan melakukan penganiayaan terhadap anak, boleh jadi dipicu karena bapaknya pejabat yang memiliki jabatan dan uang banyak.

Sekali lagi, jabatan dan kekayaan serta kemewahan yang membuat sombong atau congkak. Namun, hal tersebut hanya terjadi pada orang-orang yang kurang beriman. Mengapa?

Ya, manusia tidak berhak untuk sombong dan menyombongkan diri karena hanya Allah SWT yang berhak sombong dan yang memiliki hak prerogatif untuk sombong (innalloha mutakabbiriin). Bagi manusia, sombong dan menyombongkan diri merupakan akhlak yang tidak terpuji.

Jabatan dan kekayaan serta gaya hidup kemewahan yang disertai dengan sikap sombong akan menjadi pendorong gaya hidup hedonis, yang sebenarnya bukan merupakan budaya dan jati diri bangsa kita Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Dalam catatan penulis, secara bahasa, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “hedone” yang berarti kesenangan. Hedonisme merupakan jenis ideologi atau pandangan hidup yang menyatakan bahwa kebahagian hanya didapatkan dengan mencari kesenangan pribadi sebanyak-banyaknya dan menghindari perasaan yang menyakitkan.

Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kenikmatan atau kesenangan adalah tujuan hidup dan acuan dalam berperilaku dalam masyarakat. Dalam paham hedonisme, kesenangan pribadi atau kelompoknya merupakan hal yang utama, mereka tidak peduli dengan perasaan atau kesenangan orang lain.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa hedonisme adalah pandangan hidup yang berdasarkan atas hawa nafsu. Hedonisme sangat berhubungan dengan kekayaan, kenikmatan batin, kenikmatan seksual, kekuasaan dan kebebasan.

Dari pernyataan tersebut, maka dipastikan jabatan, kekayaan serta gaya hidup mewah seringkali mendorong gaya hedonis, dimana dengan jabatan dan kekayaan yang dimiliki mendorong seseorang cenderung mencari kesenangan atau kenikmatan dunia.

Tak peduli apakah jabatan atau kekayaan tersebut diperoleh dengan cara halal atau haram, tidak peduli dengan perasaan atau kesenangan orang lain. Bagi orang hedonis yang kesenangan dan kemewahannya terpuaskan, tak peduli hal yang diperbuatnya menyebabkan kerugian bagi orang lain.

Gaya hidup hedonis diantaranya ditandai dengan ciri-ciri:

a) kenikmatan pribadi merupakan tujuan utama dalam kehidupan.

b) mengabaikan perasan atau kebahagiaan orang lain dalam memenuhi keinginan.

c) materialis, yakni tidak pernah merasa puas dengan yang dimiliki, selalu mencari harta yang lebih dan kekayaan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan.

d) konsumtif, yakni mengutamakan keinginan dalam membeli sesuatu, bukan mengutamakan kebutuhan.

e) pergaulan bebas.

f) diskriminatif, yakni membedakan indivitu berdasarkan kekayaan dan menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain sehingga cenderung sombong.

Timbulnya hedonisme banyak dipengaruhi berbagai faktor. Setidaknya ada 2 (dua) faktor penyebab terjadinya hedonisme yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Pertama faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam diri sendiri merupakan penyebab hedonisme yang paling utama. Sudah menjadi sifat dasar manusia ingin memiliki kesenangan sebanyak-banyaknya dengan bekerja seringan mungkin.

Selain itu, manusia juga memiliki sifat dasar tidak pernah puas dengan hal yang sudah dimiliki. Sifat dasar manusia tersebutlah yang menjadi penyebab hedonisme dan juga perilaku konsumerisme.

Kedua, Faktor Eksternal yaitu faktor penyebab hedonisme dari luar yang paling utama yaitu arus informas dari luar yang sangat besar atau globalisasi. Kebiasaan dan paham orang dari luar negeri yang dianggap bisa membuat senang lalu diadaptasi oleh masyarakat Indonesia.

Pengaruh dan Dampak Hedonisme

Hedonisme dalam konteks budaya dan peradaban masyarakat memiliki kekurangan dan kelebihan. Diantara kelebihan hedonisme yaitu:

1) tumbuhnya motivasi yang kuat dalam mencapai keinginannya,

2) sikap pantang menyerah dan bersikeras untuk mewujudkan keinginan,

3) menghargai waktu dan kesempatan, karena setiap waktu dan kesempatan digunakan untuk mewujudkan yang mereka inginkan.

Adapun kekurangannya adalah:

1) menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya sehingga cenderung menggunakan cara yang negatif (tidak baik);

2) sikap egois bahkan cenderung arogan dan tidak memiliki kepekaan sosial;

3) mengganggu kepentingan dan kenyamanan orang lain karena dalam mencapai keinginanya mereka tidak peduli dengan orang di sekitarnya.

Dengan kekurangannya tersebut, hedonisme menimbulkan dampak yang terjadi dalam masyarakat diantaranya tumbuhnya sikap dan gaya hidup individualisme, konsumtif, egois, arogan, cenderung pemalas, kurang bertanggungjawab, boros dan cenderung mengarah pada prilaku korupsi, tidak memiliki kepekaan sosial, dll.

Dalam perspektif Pancasila, gaya hidup hedonis terlebih dengan mengakibatkan tindak kriminal atau penganiayaan merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan Pancasila baik dalam konteks Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia maupun Pancasila sebagai sistem etika.

Sebagai sistem etika, Pancasila memuat nilai-nilai praksis yang sejatinya menjadi panduan hidup bagi setiap warga negara dalam berperilaku, terlebih seorang pejabat negara dan anak pejabat. Sejatinya pejabat negara memberikan teladan tentang pola hidup sederhana sesuai nilai praksis Pancasila.

Demikian pula, sejatinya menjauhi sikap dan perbuatan semena-mena terhadap orang lain, dan banyak etika lainnya. Yang disayangkan, kesadaran memahami dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila oleh sebagian pejabat atau warga bangsa ini masih dipertanyakan. Jangan-jangan Pancasila dengan segala kelebihannya dan keluhuran nilai-nilainya hanya dijadikan lips-service semata.

Tidak salah seseorang memiliki jabatan dan kekayaan yang mewah, karena itu hak setiap orang dan hak asasi seseorang yang dijamin oleh negara dalam konstitusi negara. Yang tidak boleh adalah jabatan dan kekayaan yang dimiliki menyebabkan kecemburuan sosial, sombong angkuh dan menyebabkan seseorang berbuat semena-mena terhadap orang lain.

Dalam perspektif Islam, jabatan dan kekayaan yang dimiliki sejatinya dijadikan sebagai Amanah yang harus dipertanggungjawabkan, dan digunakan di jalan yang diridhoi Allah SWT. Celakalah, orang yang hidup bermegah-megahan dengan kekayaan dan kenikmatan dunia.

Hal ini jelas dalam QS.102.At-Takatsuur: 1 yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”. Maksudnya adalah bermegah-megahan dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya telah melalaikan dari ketaatan.

Bahkan Allah SWT melarang orang hidup bermegah-megahan dengan 3 (tiga) kali menyatakan “janganlah begitu,……”. Ini artinya tak pantas orang yang punya jabatan atau harta kekayaan yang berlimpah hidup bermegah-megahan.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kecintaan terhadap dunia, kenikmatannya dan keindahannya, telah melalaikan kamu dari mencari akhirat. Dan itu terus terjadi pada kamu sehingga kematian mendatangimu dan kamu mendatangi kuburan serta menjadi penghuninya”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat at-Takâtsur, ayat 1].

Dari kajian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sikap hedonis, bermegah-megahan atau bergaya hidup mewah merupakan sikap dan perilaku yang tidak baik, tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila, serta bertentangan dengan kaidah Islam.

Semoga jabatan dan kekayaan yang Allah SWT anugerahkan menjadi wahana jihad untuk berjuang di jalan Allah SWT, untuk kemanusiaan dan bukan untuk bergaya sombong, angkuh atau semena-mena terhadap orang lain.***

Minggu, 26 Februari 2023

Penulis:

  • Dosen STIABI Riyadul ‘Ulum (Ponpes Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah) Condong Tasikmalaya