Oleh: Elis Suryani Nani Sumarlina
(Dosen Filologi pada Departemen Sejarah dan Filologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)
“Indung anu ngakandung, bapa anu ngayuga.
Ulah munjung ka gunung, ulah muja ka sagara
Munjung mah kudu ka indung, muja mah kudu ka bapa…”
CUPLIKAN rumpaka kawih Sunda di atas, sarat dengan makna. Setidaknya mengingatkan kita, betapa besar peran dan kedudukan seorang ‘ibu’ dalam kehidupan.
“Ibu” sejatinya kita hormati, sayangi dan kita cintai sepanjang hayat dikandung badan. Sesuai fitrahnya, ibu adalah sosok manusia yang ditakdirkan untuk melahirkan keturunan, yang tidak bisa dilakukan oleh lawan jenisnya. Anggapan kuno sampai detik ini tentang sosok ibu masih kita dengar, yakni hanya sebatas ibu rumah tangga yang bertanggung jawab untuk mengasuh dan mendidik anak, serta melayani suami semata.
Namun, zaman telah berubah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memengaruhi peran dan kedudukan sosok ‘ibu’ di masa kini. Kesetaraan laki-laki dan perempuan, sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum zaman penjajahan. Pada suatu masa yang mungkin tidak kita ketahui, ada sosok-sosok perempuan Sunda yang gagah berani, pandai, cerdik cendikia. Ia juga seorang panglima perang yang gagah berani, tangkas dan cekatan, sekaligus seorang ratu dan batari pada zamannya, yang merupakan cikal bakal perempuan-perempuan Sunda saat ini. Siapakah Dia?
Di masa kini, kita mengenal tokoh perempuan, seperti Rd. Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, Cristina Martha T. dan Rd. Dewi Sartika? Mereka seorang ibu sekaligus tokoh, yang memiliki peran penting dan ‘hebat’ pada masanya, yang berjuang bagi sesama dan bangsanya.
Di era kasajagatan kini, sosok perempuan hebat, menduduki posisi yang tidak kalah pentingnya dari pria. Dalam batasan tertentu, kedudukan perempuan sudah sejajar dengan pria. Tapi ada hal yang tidak bisa tertandingi dari sosok seorang ibu.
Andai kita menengok ke masa silam, sosok perempuan dalam beberapa naskah Sunda sudah banyak disinggung, yang mengungkap kemuliaan, keagungan, kelembutan, kecantikan, melalui sosok Nyi Dawit, Dewi Sumbadra yang pernah berkuasa menjalankan pemerintahan Galuh sampai tahun 1065 M selama 38 tahun, Dewi Surastri, Dewi Pertiwi, Sunan Ambu, Dewi Pramanik, Nyi Jaojah, Dyah Pitaloka, Dewi Asri, Purbasari dan lainnya. Bahkan kehebatan sosok ‘perempuan’ yang pernah menjadi seorang ratu di Kabataraan Galunggung, bernama Dewi Citrawati, yang bergelar Batari Hyang Janapati.
Peran sosok Dewi Sumbadra dan Dewi Citrawati (Batari Hyang Janapati) sebagai Ratu, yang juga seorang panglima perang yang berjasa membuat rumantak, perempuan cerdas cendikia dan pandai bernegosoasi, di tahun 1111 Masehi sudah sepadan dengan kedudukan laki-laki. Ini menandakan bahwa seorang Batari Hyang Janapati mampu menyejajarkan diri dengan laki-laki. Sebagai seorang ratu, Dia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki.
Sulit dipercaya bahwa pada masa itu, ternyata ada seorang perempuan Sunda, yang hebat, pemberani, di samping guru agama yang ajarannya dipercaya oleh ‘catrik’ muridnya dan masyarakat pada zamannya.
Sosok perempuan Sunda secara umum dikenal lemah lembut, keibuan, cantik rupawan, tapi tegas, sesuai dengan fungsi dan kedudukannya sebagai istri, ibu, dan anak, diarahkan kepada lingkungan keluarga dan lingkungan terdekatnya, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakatnya. Menyimak peran ‘ibu’ dalam menjalankan fungsinya sebagai istri bagi suaminya juga sebagai seorang ibu untuk anaknya, yakni mengurus dan membesarkan anak, serta mengabdikan diri kepada suami. Dalam menjalankan fungsinya berperan penting dalam menunjang dan membantu suami.
Di era mileneal saat ini, seorang istri juga berperan aktif dalam membantu suami dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Dengan memainkan peran tradisional dan sosial, istri memungkinkan suami mencapai ambisinya serta menempati kedudukan yang cukup diperhitungkan dalam lingkungan sosial yang lebih luas.
Peran perempuan di masyarakat, memiliki konsep pemikiran yang beragam, yang tidak terlepas dari refleksi masyarakat yang berpusat pada pemilihan gender. Pemilihan itu telah menyiratkan adanya pemilahan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, berdasarkan strukturalisasi sosiokultural.
Pemahaman terhadap gender memang sering keliru. Hal ini berkaitan dengan konstruksi sosial yang dianggap sebagai kodrat. Padahal kemampuan itu dimiliki perempuan sebagai akibat konstruksi sosial kultural masyarakat. Mengacu pada perbandingan mengenai kemampuan, perempuan masih dianggap irasional dan emosional, sehingga kurang mendapat tempat pada posisi yang cukup penting, dan hal ini sejatinya tidak boleh dibiarkan, karena menyangkut ketidakadilan gender.
Peringatan Hari Ibu tahun ini, diharapkan memberi ruang kepada sosok ‘ibu’ yang mau dan mampu berjuang, berkiprah di berbagai bidang. Berjuang dalam kesetaraan gender, tanpa ada kesenjangan dan ketidakadilan gender. Namun tetap memegang teguh norma, aturan, dan moral sebagai seorang ‘ibu’, melalui batasan-batasan tertentu, yang tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan sesuai dengan adat, tradisi, dan budaya kita. Semoga.***